Rabu, 18 November 2015

Pemikiran Politik Kontemporer

Pemikiran Politik Kontemporer
(Jamaludin Al Afghani,Muhammad Abduh & Abu A’la Al Maududi)
Fiqih Syasah
Dosen Pengampu : Novi Maria Ulfa







Disusun Oleh :
Abdul Khaq (1130122)
Sukron Latif (1130104)

Sekolah Tinggi Agama Islam Wali Sembilan
Semarang Tahun 2015/2016

1. Jamaludin Al Afghani
Jamaludin al afgahani dilahirkan pada tahun 1838 M di asadabad, afghanistan. Jamaludin al afghani juga dijuluki Renaisans, islam abad ke-19. Ia dikenal sebagai seorang mujadid (pembaru) dalam dunia islam.sekaligus juga seorang mujahid(pejuang) yang terus menerus menyebarkan semangat semangat dan menegakan kalimatul haq kepada siaapun termasuk pada penguasa yang zalim.
Tujuan gerakan al-Afghani dengan PAN islamismenya yaitu :
1. Membangun dunia islam dibawah satu pemerintahan.
2. Mengusir penjajahan barat atas dunia islam pada saat itu.
Setelah melihat kemunduran umat islam, ia berusaha mencari penyebabnya dan berusaha mencari jalan keluaarnya. Beberapa pemeikiran tentang hal itu adalah sebagai berikut.  
1. Islam tidak pernah ketinggalan zaman, ajarannya selalu sesuai tuntutan zaman. Islam adalah agama yang dianut oleh siapa saja tanpa terkecuali.
2. Kemunduran umat islam disebabkan oleh umat yang meninggalakan ajaran islam yang sebenarnya. Mereka terperosok kedalam ajaran islam yang tidak benar. Misalnya, soal keimanan terhadap takdir serta pengertian terhadap fana’ dalam tasawuf. Karena salah pengertian bisa menyebabkan kelah pahaman bahwa mereka harus menyerah kepada takdir (fatalisme) dan fana’ diartikan hidup menyendiri agar fana’ kepada Allah. Menurul al afghani, iman kepada takdir diartikan bahwa segala yang terjadi ini berjalan menurut hukum sebab dan akibat.
3. Berdirinya pemerintahan yang dipimpin oleh sultan-sultan. Mereka memeras uang rakyat dan dibenarkan oleh ulam’ yang mengabdi kepadany.
4. Lemahnya tali persaudaraan kepada sesama umat islam yang menurutnya perlu didiriakanya solidaritas islam se dunia yang dikenala denagn istilah PAN islamamisme
5. Tentang dunia barat al afghani berpebdapat:
a. Sekalipun mereka berlainan keturunan dan lain kebangsaan, namun mereka bersatu dalam menghadapi dunia islam.
b. Penjajahan barat merupakan lanjutan dari perang salib.
c. Mereka sengaja menghalang halangi umat islam. Apa yang disebut mereka tentang nasionalisme dan patriotisme menjadi fanatisme, ekstrimitas, dan sauvanisme. Jika yang menerapkannya umat islam.
d. Oleh sebab itu,  tidak ada jalan lain bagi umat islam melainkan membangun kesatuan untuk melawan penjajahan barat.
6. Dalam upaya membangun ilmu pengetahuan,kebudayaan dan peradaban islam.  Al afghani menguasai IPTEK seperti yang telah dicapai oleh kaum barat.  
Dalam bidang tasawuf al afghani selalu berusaha bersungguh sungguh untuk selalu takzizatun-nafsi (mensucikan diri) dengan menghitung kiratan jari jemarinya, sekalipun ia berbincang dan menghadap kepada sang raja. Sementara tentang fana’ dalam tasawuf  yaitu untuk hidup berzuhud, al afghani menafsirkan bahawa hal seperti inilah yang diajarkan Allah dan Rasullulah.
2. Muhammad Abduh
Muhammad abduh lahir di mesir tahun 1849 M. Ayahnya, Abduh hasan khairullah, berasal dari turki sedangkan, ibunya seorang Arab yang silsilahnya sampai kepada Umar bin Khattab. Muhammad abduh termasuk anak yang cerdas, meskipun berasal dari petani yang miskin. Sejak kecilnia tekun belajar ia melanjutkan studinya di al azhar . ketika di al azhar , ia bertemu dengan jamaludin al afghani yang datang ke mesir ia sangat terkesan dengan pemikiran pemikiran jamaludin al afghani. Setelah lulus di alazhar pada tahun 1877M,  ia mengajar disana, selain itu ia juga aktif menulis di al-Ahram
Pemikiran Pembaruan Muhammad Abduh :
a) Penghapusan paham jumud yang berkembang di dunia islam pada masa itu
b) Pembukaan pintu ijtihat sebagai awal yang penting dalam menginterpretasikan kembali ajaran ajaran islam.
c) Kekuasaan negara harus dibatasi dengan konstitusi yang telah di buat  oleh negara yang bersangkutan.
d) Islam adalah ibadah dan muamalah. Dalam hal sosial ibadah tidak diperlukan ijtihad, melainkan dalam soal muamalah diperlukan interpretasi baru (ijtihad) sesuai dengan perkembangan zaman.
e) Perlu adanya perobakan sistem pendidikan , baik metode maupun kurikulumnya.
f) Dalam bidang politik ia mendirikan majalah urwatul wusqa
Pemikiran politik Muhammad Abduh
1) .Konsep Musyawarah
Menurut pendapatnya pemerintah yang berdasarkan perwakilan atau majlis yang dipilih oleh rakyatlah yang sesuai dengan ajaran Islam. Dan merupakan suatu kewajiban bangsa membantu pemerintahannya dengan memberikan nasihat yang disampaikan oleh wakil rakyat yang dipilihnya.Kemudian M. Abduh menerangkan harus dilaksanakannya sistem musyawarah. Musyawarah tidak akan berhasil, kecuali dilaksanakan orang-orang yang memiliki pendapat dan disatukan dalam satu wadah. Kesiapan manusia menggunakan sistem musywarah tidak cukup dengan menganjurkan orang lain meneliti prinsip-prinsip dialog tertentu, tapi mereka harus melihat sesuatu kebenaran dan sistem demi kemaslahatan negara dan bangsanya
.M. Abduh sangat setuju dengan pemerintah yang berdasar perwakilan tetapi ia percaya pemerintahan semacam itu boleh didirikan hanya dengan kerelaan yang memerintah dan haruslah dimulai dengan membiasakan rakyat kepada cara-cara dan keperluan pemerintahan dengan perwakilan, percobaan itu harus diiringi dengan pendidikana dan pengajaran dan sampai suatu generasi baru mencapai umur dewasanya.M. Abduh juga mengemukakan adanya hubungan yang erat antara undang-undang dan kondisi negara yang ada, karena itu orang yang membuat undang-undang hendaklah memperhatikan perbedaan-perbedaan di kalangan rakyat, baik tingkat kecerdasannya maupun keadaan sosialnya, tabiat negerinya, dan sebagainya.
2) Konsep Cinta Tanah Air
Menurut M. Abduh pada dasarnya negara harus dicintai sebab.
ia tempat tinggal dimana terdapat makanan,warga,dan seluruh warga
ia wadah hak-hak dan kewajiban,itulah inti kehidupan politik
ia tempat menisbatkan diri yang bisa mulia,terjajah atau terhina.

Menurutnya jiwa kebersamaan dalam suatu masyarakat harus diperkuat, dan sebaliknya jiwa individualisme harus dikikis habis, jalannya tidak lain hanyalah dengan pendidikan yang didasarkan atas ajaran-ajaran Islam sebagai pendidikan yang benar.

3. Abu A’ala Al Maududi
Sayyid Abul A’la Maududi adalah figur penting dalam kebangkitan Islam pada dasawarsa terakhir. Ia lahir dalam keluarga syarif (keluarga tokoh muslim India Utara) di Aurangabad, India Selatan, tepatnya pada 25 September 1903 (3 Rajab 1321 H). Rasa dekat keluarga ini dengan warisan pemerintahan Muslim India dan kebenciannya terhadap Inggris, memainkan peranan sentral dalam membentuk pandangan Maududi di kemudian hari. Ahmad Hasan, ayahnya Maududi, sangat menyukai tasawuf. Ia berhasil menciptakan kondisi yang sangat religius dan zuhud bagi pendidikan anak-anaknya. Ia berupaya membesarkan anak-anaknya dalam kultur syarif. Karenanya, sistem pendidikan yang ia terapkan cenderung klasik. Dalam sistem ini tidak ada pelajaran bahasa Inggris dan modern, yang ada hanya bahasa Arab, Persia, dan Urdu. Karena itu, Maududi jadi ahli bahasa Arab pada usia muda.
Pemikiran politik
Ada tiga dasar keyakinan atau anggapan yang melandasi pikiran-pikiran Maududi tentang kenegaraan menurut islam, yaitu sebagai berikut:
a) Islam adalah suatu agama yang paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan poitik dengan arti bahwa didalam islam juga terdapat sistem politik. Oleh sebab itulah beliau menekankan bahwa negara islam tidak perlu meniru-niru sistem politik yang diterapkan di dunia barat. Cukup kembali kepada sistem politik islam, dengan acuan menunjuk pada masa Al Khulafa Al-Rasyidin sebagai contoh kenegaraan islam.
b) Kekuasaan tertinggi, yang dalam istilah politik disebut kedaulatan ada pada Allah dan umat manusia hanyalah pelaksana atas kedaulatan Allah tersebut sebagai khalifah Allah di bumi. Oleh karenanya khalifah sebagai pelaksana harus tunduk kepada Al-Qur’an dan sunnah nabi, dan tidak boleh ada gagasan tentang kedaulatan rakyat seperti yang ada di dunia barat. Maka yang berhak untuk menjadi seorang khalifah hanyalah laki-laki atau perempuan muslim.
c) Sistem politik islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa, dan kebangsaan.
Berdasarkan tiga landasan berpikir diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem politik yang akan dan harus diterapkan di dunia islam berbeda dengan sistem politik yang ada di barat. Maududi tidak sepakat dengan pemerintahan yang menganut kedaulatan rakyat (inti sistem demokrasi) yang artinya menolak sistem demokrasi, beliau menolaknya berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988:19-21).
Beliau juga tidak setuju dengan sistem teokrasi seperti yang ada di eropa. Karena menurut beliau sistem teokrasi yang ada di eropa adalah suatu sistem dimana kekuasaan ada ditangan kelas tertentu atau biasanya adalah kelas pendeta. Menurut Maududi kelas pendeta yang memegang kekuasaan akan menyusun perundang-undangan atau hukum untuk rakyat sesuai dengan keinginan atau kepentingan kelas mereka, namun mengatasnamakan Tuhan.
Akan tetapi, meskipun beliau menolak sistem demokrasi dan sistem teokrasi, beliau masih melihat ada sisi positif dari kedua sistem tersebut. Dalam sistem demokrasi misalnya, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum Mukmin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah yang-menurut al-Maududi- membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan, “Dan ini pulalah yang mengarahkan Khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat…” (Al-Maududi, 1988: 67).
Sedangkan dalam sistem teokrasi, ada satu anasir teokrasi yang diambil al-Maududi, yakni pengertian kedaulatan tertinggi ada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut al-Maududi, rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan perundang-undangan Allah SWT. (Al-Maududi, 1988: 67).
Berdasarkan pemahaman tersebut, beliau menawarkan satu konsep baru mengenai sistem politik yang cocok untuk diterapkan di dunia islam. Sistem atau konsep yang beliau tawarkan adalah Teodemokrasi. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal Al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan) yang terbit di Kuwait tahun 1978. Teodemokrasi merupakan akomodasi antara teokrasi yang menekankan kedaulatan pada Tuhan dan demokrasi yang menyebutkan bahwa kekuasaan (khilafah) ada di setiap individu mukmin. Artinya bahwa Teodemokrasi memberikan kedaulatan kepada rakyat, namun kekuasaan tersebut tetap dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, Teodemokrasi adalah kedaulatan rakyat yang berada dibawah pengawasan Tuhan.

Daftar Pustaka
Suratno, N abbas Wahid,2006 SKI kelas XII MA
Hadi, Nur 2008 SKI Kelas XII MA Jakarta Erlangga
https://id.wikipedia.org/wiki/Abul_A'la_Maududi
http://rangerwhite09-artikel.blogspot.co.id/2010/04/pemikiran-politik-muhammad-abduh.html
http://ahmadhariantosilaban.blogspot.co.id/2011/06/pemikiran-politik-al-maududi.html